Sabtu, 14 April 2018

Art Of Facing Bully (Part 4-Selesai) - Asertif



Rihal (7th) masih kelas 1 SD.. belum terlalu banyak kejadian sih (ceileee belom terlalu banyak 🐒....) dan semoga tidak perlu mengalami kejadian macam-macam... Aamiiiin.

Pernah suatu hari, saat saya menjemputnya pulang sekolah, Rihal mengalami potensi bully,
Baru potensi...

Ketika itu,  saat turun tangga dari lantai 2, teman sekelasnya yang badannya paling besar di kelas berlarian menuruni tangga..
Dan tanpa sengaja menabrak Rihal sehingga terdorong dan hampir jatuh. Rihal yang merasa tidak nyaman dan tidak menyukai perlakuan tersebut, sesampainya dibawah, langsung mengejar si teman tersebut. Dicegat..
Dan berkata, "eh R.. kalau di tangga tuh jangan lari-lari gitu.. bahaya tau.. tadi aku ketabrak kamu hampir jatuh..  Ayo kamu minta maaf dulu ke aku.. "

Rihal mengulurkan tangan, mereka berdua bersalaman,  dan berangkulan melangkah keluar gerbang sekolah. Sembari berbincang santai khas anak-anak seolah tidak pernah terjadi apa pun. Case closed 😝

Saya menjadi cukup lega dan tenang melihatny. Karena ternyata Rihal mampu bersikap cukup asertif dalam menghadapi potensi bully. Apa yang baru saja dilakukannya itu adalah salah satu contoh ideal aplikasi teori antisipasi bully: BICARA-LAPOR-LARI-LAWAN.

Rihal berani menyampaikan apa yang dirasakannya.. tidak suka ditabrak..
Reaksioner tapi mampu mengontrol emosi. Bicara baik-baik terlebih dulu sehingga "lawan" memahami bahwa perilakunya tidak menyenangkan dan merugikan.
Tidak memendam dalam hati ketidaksukaannya. Sehingga masalah pun menjadi cepat teratasi dan tidak berlarut-larut.

Tak terbayang seandainya Rihal bersikap temperamental dan langsung membalas secara fisik, padahal tubuh lawannya jauh lebih besar. Bisa saja si lawan tidak terima tiba-tiba dikasari, karena mungkin dia tidak sengaja dan tidak merasa melakukan kesalahan, lalu langsung membalas membabibuta. Sedangkan secara fisik potensi kekuatannya mungkin lebih besar.

Atau di lain hari, setelah melintasi gang kecil yang merupakan jalan potong keluar komplek kami, Rihal melaporkan, "Miy, itu tadi ada bapak-bapak pegang-pegang tangan Nyun waktu tadi lewat situ... ntar kalau kita lewat situ lagi Nyun tunjukin ya orangnya."

Saya pun mengusut kronologis ceritanya. Dipegang bagian apa? Sentuhan yang seperti apa?... Ternyata yang disentuh adalah telapak dan pergelangan tangan, dipencet beberapa kali seperti memijat. Itu terjadi saat Rihal melintas seorang diri sepulang bermain di taman, tiba-tiba saja si bapak tersebut memegang tangannya. Dan hal itu membuat Rihal tidak nyaman, karena mendapat sentuhan (sekalipun sentuhan kecil dan sederhana) dari orang asing. 'Boundaries'-nya terlanggar.
Alarm bawah sadarnya pun langsung waspada. Dan segera melaporkannya pada saya.

Karena tidak ingin hal yang sama terulang kembali. Kami berdiskusi singkat ala bocah 7 tahun. Menyimpulkan dan memutuskan, bahwa Rihal tidak akan lagi melintasi gang kecil tersebut seorang diri. Jika terpaksa melalui gang tersebut, maka harus beramai-ramai dengan teman atau ditemani salah satu kakaknya.

Dari dua kejadian tersebut, hal yang saya syukuri adalah kemampuan Rihal bersikap asertif yang ternyata sudah cukup baik, serta fakta bahwa pagar 'boundaries' aka batas nyamannya sudah mulai terbangun. Sehingga alarm pertahanan bawah sadarnya pun menjadi mulai aktif.

Yah begitulah...
Mempersiapkan anak lelaki untuk menghadapi dunia luar memang warbiyasahhhh ya.
Jika dalam level paling ekstrim 'keparnoan' orangtua, seorang anak perempuan masih bisa saja saya pingit di dalam rumah. Tak perlu keluar rumah, tak perlu bersosialisasi, cukup belajar dan berlatih menjadi ibu dan istri yang baik di rumah, lalu menunggu pinangan seperti era Kartini. Kuper kudet pun tak masalah,  demi menghindari dan mengantisipasi segala potensi bully di luar rumah. Mungkin bisa saja.

Tapi jika anak lelaki...?
Mau dipingit juga?
Disekap dalam rumah tanpa tahu dunia luar agar aman nyaman tak tersentuh potensi bully sama sekali?
Hellooowwww...

Saya pernah melihat seorang ibu yang mengajari anak lelakinya untuk bersikap tabah dan sabar dalam diam menerima serangan fisik dari teman bermain, jangan membalas ataupun melakukan perlawanan.
Menurutnya, tidak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan.
🤔🤔🤔

Well...
Setiap orang bisa berbeda prinsip dan pendapat. Tapi bagi saya, mengatasi tindak bully bukanlah sekedar tentang kesabaran dan ketabahan.
Bukan hanya perkara membalas air tuba dengan air susu.
Untuk melatih kesabaran dan ketabahan? Ohoho.. yakinlah bahwa masih ada sangaaat buanyak episode lain dari hidup manusia yang menuntut kesabaran dan ketabahan hingga level maksimal, bahkan 'beyond capacity'.

Saya sebagai ibu dari empat anak lelaki, demi tuhan tidak ingin anak saya jadi jagoan tukang berantem. Tidak mau anak saya menjadi laki-laki anarkis..
Tetapi,
Saya tentu juga tidak ingin kalau anak saya tidak tahu sama sekali bagaimana cara membela diri dengan kekuatan fisik.
Saya tidak mau juga anak lelaki saya tak mampu melindungi diri sendiri, entah dengan kekuatan fisik ataupun otak.

Suatu saat mereka akan tumbuh menjadi laki-laki dewasa.
Akan memikul tanggungjawab sebagai suami. Sebagai ayah.
Bagaimana akan menjaga dan melindungi keluarganya jika melindungi diri sendiri pun tak mampu?

Jadi....
Ya saya berusaha sekuat tenaga agar anak-anak saya bisa bersikap asertif. Ini bisa jadi mudah bagi anak yang karakter bawaannya cukup asertif seperti Azza dan Rihal. Tapi bisa jadi PR besar bagi yang karakter dasarnya kurang asertif seperti Ai.

Jika karakter aslinya kurang asertif, mungkin tidak ada salahnya mengajari dan melatih anak untuk bisa berpikir kreatif dan strategis dalam mencari solusi masalah.

S.O.P standard antisipasi bully yaitu, berani bicara-lapor-lawan-lari juga dasar yang sangat penting untuk dilatih.

Serta sangat sangat sangat perlu dan jadi keharusan untuk memperkenalkan aneka ragam "rasa/ perasaan" pada anak, juga memberi pemahaman tentang  batasan nyaman (boundaries) diri sendiri. Menurut para psikolog (yang mana sudah saya buktikan dengan fakta otentik), 'kenal rasa' dan memiliki 'boundaries' adalah pilar utama untuk kemampuan dasar membangun benteng pertahanan dan mengaktifkan alarm waspada terhadap potensi bully.

Secara teori, idealnya dalam menyikapi bully orangtua juga perlu:
1. Memberi waktu dan kesempatan pada anak untuk menyelesaikan masalah sendiri.
2. Mengukur peluang resiko.

Dalam kasus pemalakan Ai contohnya,  jika saat observasi saya menemukan si pelaku pemalakan dan pemukulan memiliki tubuh yang lebih besar dari Ai, maka mungkin saya akan mengambil tindakan antisipasi yang lebih dari sekedar 'wait and see'. Karena mungkin berpotensi adanya resiko cedera fisik yang lebih fatal. (Baca kisah Ai di Art of Facing Bully (Part 2) - Strategi )

Tapi karena fakta bahwa tubuh si oknum pemalak lebih kecil, maka saya dan suami memberi Ai kesempatan untuk mengatasi masalahnya sendiri terlebih dahulu.
Dan ternyata hasilnya...

We can't underestimating our kids, ever.

#PRemakMasihSegunungUhud

=SELESAI=
Load disqus comments

0 komentar

Designed By Risa Hananti. Diberdayakan oleh Blogger.